Kamis, 15 Juli 2010

Ayah, Anak dan Keledai

Suatu hari seorang ayah mengajak anaknya pergi ke luar kota untuk berdagang, Dia percaya bahwa pendidikan terbaik adalah gabungan dari teori dan praktik sekaligus. Jadi ia ingin agar sejak dini anaknya mengerti apa yang dikerjakan ayahnya, sehingga kelak sang anak bisa meneruskan usaha orang tuanya, Hal lain yang ingin diraih adalah agar sang anak tahu betapa keras perjuangan Sang Ayah. Ia akan belajar 2 hal, yaitu respek terhadap orag tua dan mencari nafkah tidaklah mudah, sehingga ia akan menghargai jerih payah kedua orang tuanya, hidup lebih bertanggung jawab dan tidak berfoya-foya.


Karena sang keledai bertubuh kecil, sang ayah mengalah pada putranya. Ia rela jalan kaki sambil menuntun keledai yang dimuati makanan cukup banyak sebagai bekal di perjalanan. Selang beberapa lama, mereka bertemu segerombolan orang yang berbisik-bisik membicarakan mereka. Seorang diantaranya berkata, "Kasihan benar si ayah. Sudah tua masih harus berjalan kaki. Sementara anaknya yang jauh lebih muda benar-benar tidak tahu diri. Seharusnya ia berjalan dan merelakan ayahnya naik keledai. Sungguh malang nasib si ayah mempunyai anak yang tidak berbakti."


Mendengar celotehan ini Sang Anak merasa malu dan meminta ayahnya naik keledai dan gilirannya ia berjalan kaki. Sewaktu pejalanan ia bertemu segerombolan orang yan berbeda. Pandangan mereka aneh dan penuh tanya. Ketika berpapasan, seorang diantaranya berkata "Benar-benar orang tua yang jahat, anak sekecil itu disuruh berjalan kaki diterik matahari, sementara ia enak-enakan menunggang keledai tanpa merasa bersalah sedikit pun!"


Mendengar ucapan tersebut, anak dan ayah saling berpandangan mata. Mereka bingung sejenak mendengar dua pandangan yang kontras berbeda. Lantas Sang Ayah dengan sigap menarik anaknya naik ke pungung keledai bersama-sanama. Kini kedua Ayah dan Anak itu naik keledai berboncengan dan meneruskan perjalanan menuju kota.


Tak lama kemudian merka berjumpa dengan rombongan ketiga. Mereka mengumpat "Sunguh manusia yang jahat dan tidak punya rasa kasihan. Keledai sekecil dan sekurus itu harus ditunggangi dua orang yang berbadan cukup berat. Belum lagi masih ditambah beban yang cukup besar. Belum lagi ditambah beban yang cukup berat. Benar-benar manusia yang tidak punya perasaan kasihan sedikit pun. Coba saja kalau dia yang menjadi keledai, baru sebentar pasti sudah minta ampun."


Mendengar hal itu, ayah dan anak bingung. Serba salah. Begini salah, begitu keliru. Akhirnya sambil menghela nafas panjang. Keduanya turun dari keledai dan berjalan beriringan di samping keledai keledai di terik matahari yang ganas, mereka memaksa diri untuk terus berjala tanpa henti.


Kala pikiran mereka sedang menerawang sambil berjalan, tiba-tiba keduanya dikagetkan oleh tawa cekikian serombongan orang yang melewati mereka, "Bapak dan anak ini sungguh gila. Punya keledai tidak dinaiki, malah dituntun. Kenapa keledainya tidak digendong saja sekalian? Benar benar ada orang yang sedemikian bodohnya didunia ini. Sungguh mereka jauh lebih bodoh dari keledai."


Kali ini sang ayah tidak bingung lagi. ia menaikkan anaknya ke punggung keledai. Sebelum Sang Anak protes, ayahnya berkata, "Hidup haruslah punya pendirian. Telinga memang berfungsi untuk mendengar. Tapi otak kita bertugas menyaring semua yang tertangkap oleh panca indrea kita, termasuk oleh pendengaran. Sementara hati kita punya tugas untuk menimbang, merasakan mana yang tepat dan benar, mana yang tidak. Dari awal kita telah melakukan kekeliruan, hanya menggunakan telinga untuk mendengar. Kita membiarkan otak dan hati kita diam tak berfungsi. Kita membiarkan diri kita dipermainkan keadaan yang datang dari luar diri kita. Itu tidak boleh terjadi lagi anakku. Kita harus bersikap, punya pendirian dan berani mempertahankan pendirian kita dengan segala konsekuensinya. Kamu kecil, kamulah yang lebih layak menaiki keledai. Saat ini ayahmu masih kuat. Nanti pada saatnya tiba, gantian ayahmu yang harus kamu rawat dan kamu juga. Itulah kehidupan."


Meski masih kecil, sang anak dapat mengerti wejangan Sang Ayah. Di dalam hatinya kini tertanam tiga hal penting.

1. Rasa hormat dan hutang budi atas kasih sayang Sang Ayah.

2. Sadar bahwa dalam hidup orang harus memilih, bersikap dan punya pendirian.

3. Sudut pandang tiap orang berbeda dan beragam dan bahkan acapkali bertentangan.

Tiada yang mutlak benar, tiada yang mutlak salah. Mengikuti semua pendapat akan menyesatkan. Memilih salah satu, belum tentu benar. Tapi itulah risiko. Tentu dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang, Ia lantas ingat nasihat Sang ayah sebelumnya : dimana ada Yin, di situ ada Yang. Demikian pula sebaliknya.

Tanpa terasa keduanya kini tersenyum. Tanpa beban.

Jadi teman-teman, tiap orang memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikap sesuatu. Tapi kita harus memiliki Pendirian yang kuat dan berani mempertahankan konsekuensinya.

HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN DAN PERTAHANKANLAH PILIHAN KITA DENGAN PENDIRIAN YANG KUAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar